Welcome To My Blog . . .
Selamat Datang di Blog Sederhana ini . . .
Blog ini di dirikan sejak tahun 2010 oleh Nur Muhammad Fhadly, seorang biasa tetapi memiliki impian yang luar biasa . . .

Laman

Rabu, 02 Februari 2011

Ah, Teori!

Kawan saya, seorang aktivis dan feminis laki-laki, suatu ketika menulis di sebuah media massa nasional mengenai poligami. Dalam tulisan itu, ia nampak begitu bersemangat menentang poligami yang menurutnya lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang manfaat. Dengan mengutip berbagai sumber dan referensi, kawan saya ini menyimpulkan bahwa poligami sering menjadi bencana dalam kehidupan rumah tangga, terutama bagi anak-anak. Ia mengecam Puspo Wardoyo yang menyelenggarakan Poligami Award. Ia juga mengatakan bahwa orang yang berpikiran seperti Puspo itu hanyalah sebagian kecil umat. Bagaimana dengan kemungkinan ia sendiri akan berpoligami? “Maaf sajalah, saya terlalu mencintai istri dan anak-anak saya,” demikian kawan saya menutup tulisannya.

Akan tetapi, itu dulu. Tiga setengah tahun lalu. Kenyataannya, kawan saya itu kini malah berpoligami dengan menikahi seorang wanita yang berusia hampir separuh usianya. Ia pun kini tengah disibukkan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang datang bertubi-tubi kepadanya.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan kawan saya ini? Sampai saat ini saya belum mendapatkan keterangan yang jelas darinya. Namun, sebetulnya ini adalah fenomena yang sangat biasa. Bukankah kita sering melihat orang yang mengatakan sesuatu pada suatu waktu, tapi kemudian melakukan hal yang bertentangan di waktu lain? Bukankah lidah memang tak bertulang?

Ada banyak sekali contoh yang dapat kita sebutkan. Bukankah kita sering mendengar mengenai guru mengaji yang sangat memahami agama, tapi kemudian melecehkan anak didiknya sendiri? Bukankah ada seorang yang hafal isi kitab suci tapi malah dipenjara karena kasus korupsi? Bukankah banyak aktivis dan pengamat yang berubah begitu ia diangkat menjadi pejabat? Bagaimana kita bisa menjelaskan seorang kriminolog yang dipenjara karena tindakan kriminal? Bagaimana kita dapat menjelaskan kasus dua menteri (yang kini sudah diganti) yang melakukan tindakan mencederai hukum padahal mereka adalah ahli hukum, pejabat di bidang hukum, aktivis prodemokrasi dan antikorupsi, bahkan sering juga bertindak sebagai dai?

Mengapa yang kita lakukan sering berbeda dari apa yang kita katakan?

Menurut saya, penyebabnya ada empat hal. Pertama, ada perbedaan yang begitu besar antara mengatakan dan melakukan. Mengatakan sesuatu menunjukkan pengetahuan Anda, padahal pengetahuan sering tak berdampak pada perubahan perilaku. Untuk bisa mengubah perilaku, yang diperlukan adalah kesadaran. Orang berubah bukan karena mereka tahu, tetapi karena mereka sadar.

Cobalah lihat contoh-contoh dalam kehidupan Anda sehari-hari. Bukankah banyak orang yang tahu bahaya merokok, tetapi tetap merokok? Bukankah banyak orang yang tahu pentingnya mengenakan sabuk pengaman, tapi tetap tidak menggunakannya? Tahu pentingnya berolah raga, tetapi tak pernah melakukannya?

Ketika kita berkata-kata, kita sebenarnya belum mencapai tingkat kesadaran. Kita baru sekadar mengetahuinya. Itulah sebabnya, kata-kata sering berbeda dari perbuatan. Kesadaran baru akan kita dapatkan kalau kita mengalaminya. Inilah rahmat tersembunyi yang kerap kita dapatkan dari musibah. Musibah dapat menyadarkan kita dan membuka kesadaran kita yang paling dalam. Orang yang telah sadar pastilah akan berubah.

Kedua, ketika kita berkata-kata, kita sering membayangkan kondisi yang ideal. Kita lupa bahwa situasi di lapangan bisa sangat berbeda. Seorang ilmuwan yang berteori mengenai korupsi barulah berbicara pada tataran ideal. Ia sebetulnya belum tahu apa-apa mengenai korupsi sampai ia sendiri merasakan menjadi pejabat. Ia berteori dalam lingkungan tenang, padahal lingkungan yang sebenarnya sangat bergejolak dan penuh godaan.

Alasan ketiga adalah karena kita cenderung merasa bahwa tugas kita sudah selesai begitu kita mengatakannya. Kita seakan-akan telah menjadi orang yang baik dengan mengatakan sesuatu mengenai kebaikan. Kita merasa menjadi orang yang bersih dengan mendengang-dengungkan sikap antikorupsi. Kita merasa menjadi pasangan yang setia dengan membuat pernyataan bahwa kita tak akan berselingkuh.

Padahal, di sinilah letak bahayanya. Semua pernyataan dan sikap kita itu sebenarnya barulah berupa teori belaka. Belum ada bukti sama sekali bahwa kita akan melakukan apa yang kita katakan itu. Namun dengan mengatakan hal itu, kita sering menganggap diri kita berada di posisi aman. Ini sering membuat kita lemah dan tidak siap. Kita lupa bahwa sebagai manusia, kita bisa salah. Bukankah kita senantiasa memiliki kecenderungan-kecenderungan duniawi? Kita bahkan bisa menjadi seburuk orang yang kita kritik. Kita selalu berpeluang melakukan perbuatan yang kita benci sekalipun.

Alasan keempat, di dalam diri manusia sebenarnya berkembang kekuatan-kekuatan yang saling bertolak belakang. Semakin kita membenci sesuatu, sebetulnya kita semakin memasukkan sesuatu itu ke dalam pikiran kita. Karena itu, sering ada kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri kita yang justru menginginkan apa yang kita benci tersebut. Keinginan-keinginan ini muncul secara sangat halus dan samar-samar sehingga kita sering tidak menyadarinya. Ketika teman saya itu membenci poligami, jauh di lubuk hatinya yang terdalam telah tumbuh keinginan untuk mencoba poligami. Itulah sebabnya, orang bijak sering mengatakan agar kita menyukai dan membenci sesuatu dengan sekadarnya.

Tulisan ini pun saya cukupkan sampai di sini. Saya ingin segera berkomtemplasi, merenung dan mencermati diri saya sendiri. Jangan-jangan saya juga pernah mengatakan apa yang tidak saya lakukan. Jangan-jangan saya pun melakukan apa yang sebenarnya saya benci. Jangan-jangan saya hanya berteori. Padahal, saya tahu bahwa saya tidak akan pernah berhasil mengubah orang lain sebelum mengubah diri saya sendiri. Selain itu, saya juga takut kalau Anda yang membaca tulisan-tulisan saya kemudian mengatakan, “Ah, teori!”

Prev: Republika, Minggu, 7 Oktober 2008 [SELISIK] Antara Memaafkan dan Kebahagiaan ------------ --------- --------- -- ---Anwar Holid